sejarah kristen protestan di minahasa

protestan di minahasa
nice sunday and be blessed
awal abad 600 di barus sumatra sudah masuk kristen nestronian dan abad 15/16 kristen katholik masuk indonesia juga minahasa …

my timeline and frame of kristian in minahasa
sebelum abad 15
-religi suku murba minahasa ‘opo wanantas’…buku opo dan allah bapa pdt.dr.jos saruan togas.
-khsusus indonesia secara umum di barus sumatra sudah masuk misi kristen nestronian abad 600

sesudah abad 15 misi kristen eropa
-1511-1520-1580
portugis ordo karmel
-1580-1608-1644/45
spanyol ordo jesuit
-1644/45-1677-1799
voc dan pegawai negara/gereja protestan
-1799-1810/20-1930
prancis-inggris-belanda
masa misi zeending nzg
-1930-now
gereja mandiri
gmim/kgpm/oikumene pgi

long name timeline

1.agama suku minahasa sebelum abad 15
-Dotu lolong lasut waruga 1450-1520 membangun negeri wenang manado tombulu minahasa

2.agama kristen masuk minahasa
– portugis minahasa 1509-1523/26 surat kapten maluku antonio de brito to simao de abreu kata manada/manado,panguensara/likupang by uncel joaqum magelans penulis buku lautan rempah…
https://www.tokopedia.com/bukugalileo/lautan-rempah-peninggalan-portugis-di-nusantara?src=topads
-benteng portugis amurang 1512
-kerajaan portugis maesa likupang 1525
-1521 fernando de magelhaens sampai filipina
-pabrik portugis manado 1540
-kema 1547 fransiskus xaverius
— 1563 pembabtisan diego de magelhaens disingkil, pulau manado tua
– benteng/penjara portugis 1564
– 1568 pater pedro mascarenhas

6.Jaman colonial di minahasa
1500-1679 & 1679 kesepakatan voc -1799

1580 spanyol anex portugis
-1608 spanyol menguasai semua wilayah portugis di maluku
-1606/17 spanyol minahasa christoval suarez/1617 misi ordo jesuit pater j.b.scialamonte/cosmos pinto
-1639 -1644/45 surat pater juan ilranzo di minahasa by pastor frangky eky rengkung
-1644/45 perang minahasa raya vs spanyol
-1645-1679 perang minahasa mempertahankan wilayah minahasa

3.kristen protestan masuk minahasa
-1679 kesepakatan verbond minahasa dan voc, benteng niue amsterdam wenang,oade kerk ds jacobus montanus dkk
-1799 voc bangkrut
-1799 -1816 minahasa dalam perebutan kekuasaan eropa
– 1795-1806-1811 republic bataf belanda di bawah perancis juga semua wilayah colonial
-1807/8 perang tondano
-1811-1815 belanda di bawah inggris begitu pun wilayah kolonial
-1816 belanda balik masuk minahasa
-1817 joseph kam era awal nzg minahasa
– gereja sion tomohon 1831

kisah panjang
1679 atas nama minahasa paat supit lontoh membuat perjanjian dengan voc untuk mencegah serbuan ,spanyol,suku suku lain ke minahasa…dan masuknya voc disamping membuat benteng juga membuat gereja untuk pegawai pegawai voc itu lah kisah oade kerk gereja sentrum manado yg kemudian berlangsung ke jaman zending adapun fokust voc adalah dagang kurang pada misi kristen hingga voc bangkrut 1799…kristen hanya seputar pegawai voc yang masuk gereja di oade kerk sanping benteng niue amsterdam mungkin beberapa kalangan saja dll…
lain kisah ketika voc ber alih ke belanda sekalipun awal di bawah napoleon dan kemudian inggris…hingga 1817 inggris menyerahakan control kembali pada belanda…inggris melalui josep kam dan london misi menjadi awal dari era zending ke minahasa
Era Nedelandsche Zendeling-Genootschap (NZG) di Tomohon (1817-1875)

kisah pendek
Awal abad 18/19, Minahasa menurut penilaian para pejabat terkait dikatakan tanah kesukuan, yang menurut istilah para pekabar Injil
Terdapat kurang lebih 4000 orang Kristen terlantar, sisa-sisa umat Protestan Reformasi.
Ketika Dr. Reinwardt berkunjung ke Minahasa medio tahun 1821 ia menyaksikan suatu budaya kesukuan yang kental.
Kema yang dikategorikan banyak penganut Kristen, ternyata penduduknya terkelompok atas sebagian Kristen, sebagian Islam, dan sebagian besar kesukuan.
Dan penduduk higlanders Minahasa umumnya kesukuan yang belum mengenal Bahasa Melayu.
Sejak Hindia Belanda dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda tahun 1817, seluruh urusan gerejawi diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Zending.
Zending merupakan sebuah serikat Protestan yang didirikan di Belanda 1797.

Serikat itu bergerak dalam bidang pewartaan Injil untuk bangsa-bangsa di luar Eropa yang dianggap under-developed atau terkebelakang.
Kehidupan Gereja maupun pengiriman tenaga-tenaga di atur dari pusat organisasinya Belanda.
Ds. J. Kam telah merintis karya Zending di Minahasa,” kata HB Palar dan kawan-kawan dalam buku Bangkitnya Kembali Umat Katolik Tomohon.
Kam sebenarnya bertugas di Ambon.
Tertarik oleh berita-berita bahwa di Minahasa terdapat umat Kristen yang terlantar sejak tahun 1798, ia mengadakan kunjungan dua kali ke Minahasa.
Akhir tahun 1817 ia mendarat di Kema.
Ia memperkirakan jumlah umat serta simpatisannya di Minahasa waktu itu sekitar 3500 orang.
Keadaannya terlantar dan pendidikannya terbelakang. Kunjungan kedua tahun 1821, ia sempat mengunjungi tujuh kampung atau negeri besar di Minahasa.
Ia bertukar pendapat dengan pemimpin-pemimpinnya yang masih kesukuan
Tahun 1822 ia mengutus dua orang pendeta dari Ambon yakni L. Lamers yang bertugas di Kema mulai 2 Juni 1822 dan meninggal di sana tahun 1824 sebelum melihat hasil yang optimal.
Ia juga mengutus D. Muller yang ditempatkan di Tanahwangko mulai 22 Juni 1822 tetapi meninggal tahun 1826.
Karya mereka ini secara permanen telah ditata oleh pendeta G. Jan Hellendoorn sejak tahun 1827 yang ditetapkan menjadi pendeta pertama untuk Manado dan Minahasa dan mulai bertugas tanggal 7 Januari 1827.
Menurut perkiraanya waktu itu penduduk Manado/Minahasa waktu itu sekitar 70 ribu orang Animis (ia pakai istilah heiden) dan sekitar 5 ribu orang Kristen.
Pernyataan pertama yang ia keluarkan bahwa “Kema telah bebas”.
Prioritas utama dan mutlak baginya adalah membangun sarana-sarana, sekolah-sekolah.
Rencana itu digalakkan ke pelosok-pelosok Minahasa dan berhasil.
Wabah kolera yang melanda Minahasa tahun 1833 menelan korban seperempat bagian penduduk Minahasa, lebih kurang 17.500 orang.
Di rumahnya sendiri pernah tergeletak enam mayat, di antaranya tiga orang anak kandungnya.
Sejak kejadian itu kesehatannya condong menurun sampai beliau meninggal 18 Agustus 1839.
Oleh sebab itu sangat wajar bila ia digelar “Peletak batu dasar Zending Minahasa.”
Atas prakarsa tenaga-tenaga Zending mulai didatangkan dari Belanda.
Di antara pendeta-pendeta pioner pantas disebutkan J.F. Riedel, J.G. Schwarz, dan A. Mattern yang ditempatkan di Tomohon sejak 1838.
1. Pendidikan
Penduduk Minahasa tahun 1835 menurut Statistik P. Bleeker berjumlah 95 ribu jiwa.
Pada tahun yang sama terdapat 11 sekolah pemerintah Belanda tersebar pada pusat-pusat negeri yang ramai tetapi tanpa disertai pendidikan agama.
Tahun 1845 di bawah Residen Van Olphen jumlahnya meningkat menjadi 20 buah.
Namun umumnya sekolah-sekolah itu tidak tertata rapi, guru-gurunya tidak digaji semestinya sehingga banyak yang alpa dan meninggalkan tugas.
Graafland seorang guru Zending melukiskan,
“Di samping sekolah-sekolah Zending, pemerintah mendirikan balai-balai sekolahnya kepada zending untuk dikelola.
Sedangkan para kepala negeri, hukum tua di bawah pengawasan atasannya dengan cara masing-masing mengajak dan menghantar anak-anak alifuru ke sekolah-sekolah….
Lama-kelamaan lingkungan-lingkungan sekolah itu menjadi sentra-sentra kristianitas, sentra-sentra pengembangan susila Kristen…”
Dalam kurun waktu yang bersamaan Zending juga telah membuka sekolah-sekolah walaupun tidak formal. Tahun 1835 telah terdapat 22 buah sekolah Zending dan meningkat menjadi 80 buah tahun 1850.
Murid-murid terdaftar 10.390, tetapi yang aktif 6.291 orang.
Tahun 1861 menanjak 108 sekolah, murid terdaftar 13.045, yang aktif 7033.
Belanja gaji tahunan 1842 f. 2500, meningkat pada tahun 1858 menjadi f.6200.
Disadari bahwa pekerjaan tersebut tidak mungkin lagi dijangkau oleh tenaga-tenaga dari barat melulu.
Berarti, perlu mendirikan sekolah khusus untuk mendidik tenaga pengajar pribumi.
Gagasan ke arah itu berasal dari NP Wilken dan N Graafland.
Cita-cita mendirikan sebuah Institusi Pendidikan Guru di Sonder, tertuang pada Konferensi Maret 1848 namun terhalang oleh birokrasi berbelit.
Tahun 1851 dengan empat orang murid N Graafland merintisnya sendiri di Sonder tempat kerjanya.
Ia dimutasikan ke Tanawangko 1854.
Di situ ia melaniutkan sekolah itu dan mendirikan bangunan khusus.
Bangunan itu didirikan melihat jumlah murid meningkat cepat.
Kolega-koleganya mulai mengirim murid-murid sebagai calon guru.
Semua berjalan atas biaya sendiri.
Yang berkompetensi sejauh itu masih tetap beranggapan bahwa sekolah sejenis belum perlu.
Berdasar Keputusan Petinggi Gereja 10 Oktober 1866, pada 1 November 1868 Sekolah Penulong dibuka di Tomohon.
Di Belanda sendiri, bulan Februari 1874, diprakarsai oleh misionaris-misionaris Zending Wanita, diperdirikan sebuah lembaga “Kwarguldenvereenigingen” (Kumpulan seperempat rupiah) untuk pendanaan bagi sekolah-sekolah Zending di Minahasa.
2. Noskap
Tomohon (Toumuung) waktu itu terdiri atas lima negeri yaitu Talete, Kamasi, Paslaten, Kolongan, dan Matani.
Dilukiskan sebagai tempat berudara sejuk, titik poros Minahasa karena menjadi titik silang jalan-jalan dari dan ke semua arah.
Pada musim hujan panjang, jalan-jalan itu amat parah.
Lebih diperparah lagi oleh kendaraan-kendaraan roda-roda (pedati) yang tidak putus-putus mengangkut kopi dan lain-lain.
Sampai tahun 1838 tidak ada tanda-tanda kekristenan, penduduknya penganut nenek moyang yang setia.
Menurut data Graafland pada tahun 1860-an jumlah penduduk Toumuung pada setiap kampung sebagai berikut : Talete dengan 635 jiwa, Kamasi dengan 520 jiwa, Paslaten dengan 615 jiwa, Kolongan dengan 460 jiwa, Matani (Matani dan Walian masih disatukan dengan 766 jiwa).
Bahasa (Tombulu) yang dinilai amat sulit harus dipelajari setiap orang yang ingin menetap.
Pendeta Adam Mattern yang berlatar berlatar belakang “tukang besi” masuk Tomohon pada bulan Juni 1838, sebagai perintis.
Sudah ada dua sekolah pemerintah.
Masyarakat Alifuru yang terikat pada foso-foso adat tidak ada yang tertarik kepada perkataan-perkataannya yang bersumber dari Injil, malahan sering menertawakan dia.
Berkat kerja keras dalam kesabaran serta ketabahan, akhir tahun 1839, enam orang bersedia dipermandikan lalu diikuti oleh yang lain lagi.
Mayoor Tomohon mengizinkan mengadakan kebaktian di rumahnya bergilir dengan perayaan-perayaan foso yang dipimpin oleh para walian.
Berbagai buku diterjemahkannya dalam Bahasa Melayu dibantu oleh istrinya Jacoba Oudshoff.
Sayang istrinya meninggal bulan Oktober 1840 meninggalkan seorang anak.
Mattern sendiri meninggal di Manado akhir 1842 dalam usia 35 tahun.
Meninggalkan 600-an murid yang “mulai rajin ke sekolah”.
Nicolaas Philip Wilken, Gembala Definitif Pertama Tomohon tanggal 1 Februari 1843 ditetapkan sebagai gembala definitif, melanjutkan apa yang telah dirintis oleh pendahulunya.
Kenyataan yang ia temui ialah semua capaian positif pendeta (Adam Mattern), perintis di Tomohon, hanya dalam tiga bulan setelah kematian beliau sudah kembali ke titik nadir.
Ia mencatat sebagai berikut : pada hari-hari pertama empat anak masuk sekolah secara tetap sedangkan pengunjung kebaktian di Gereja sebagai pendengar 4-8 orang.
Pagi-pagi orang-orang telah berangkat ke kebun dan pada malam hari tidak ada yang menerangi rumahnya, sehingga tidak mungkin mengadakan kunjungan.
Tiada jalan lain kecuali mencegat orang-orang yang sedang pulang dari ladang sore hari.
Hal seperti itu ia lakukan sampai empat kali di rumah kalakeran Major Tomohon.
Namun bila mereka sudah setengah teler karena saguer, sukar diajak bicara.
Lagi pula empat kali ia lakukan itu, empat kali pula ia menghadapi rombongan yang berbeda.
Ada kewajiban bagi semua Kepala Distrik atau Kampung di seluruh Minahasa untuk mendorong atau memaksa orang tua menyekolahkan anak-anak mereka.
Ada semacam “wajib belajar”.
Di Tomohon juga begitu.
Tetapi seandainya kepala-kepala itu lengah, para orang tua akan tidak perduli.
Atau bila guru karena sesuatu alasan tidak masuk, ia tinggal di rumahnya untuk makan pinang “lumema”.
Saat itu para murid berkelompok-kelompok duduk-duduk di atas tanah atau di atas penggalan-penggalan kayu (kinantong).
Kondisi begitulah yang dihadapi pendeta Wilken.
Mungkin hal yang lebih parah telah dihadapi oleh pendeta Mattern sebelumnya, hanya ia tidak menulis.
Sesudah berjuang tiga tahun, mengakhiri tulisannya pada Desember tahun 1846, Pendeta Wilken menulis:
zonder gedruisch voorgande uitbreiding des Christendoms… tanpa berisik-risik perkembangan Kristianitas berjalan terus”
3. Mayor Tomohon
Tulisan yang telah menjadi ramalan itu menjadi kenyataan pada tahun 1847.
Bulan April Inspektur Gerejawi yang berkunjung dan tinggal enam hari pada pendeta Wilken telah membabtis Major Sarongsong/Tomohon dengan nama babtis Roland.
Beberapa bawahan mengikuti jejaknya dan anggota masyarakat seolah berbondong-bondong minta dibaptis.
Keadaan makin cepat berubah.
Peran Major dalam mengajak anak-anak untuk ke sekolah amat besar.
Sekolah-sekolah yang ada mulai padat murid dan katakumenpun meningkat jumlahnya.
Wilken menulis catatan menarik tahun 1853.
Isolasi kesukuan di Tomohon sudah terbuka sejak 1847.
Tetapi sifat masyarakat yang kurang peduli, jauh dari hiegenis, malas dan kurang rasa terima kasih masih tetap.
Masih biasa menyanyikan syair-syair pujian kesukuan
Namun di balik itu masyarakatnya sangat hati-hati.
Epidemi yang berkecamuk di seluruh Minahasa tahun 1854 telah makan banyak korban nyawa termasuk juga di Tomohon.
Walaupun kesehatan sangat terganggu, semangat merasul pendeta Wilken tidak pernah surut.
Namun musibah yang parah dan fatal telah menimpanya dalam sebuah perjalanan tahun 1859.
Ia jatuh dari kudanya.
Saat itu sekolah asuhannya telah berjumlah 19 buah, 13 di antaranya sekolah pemerintah.
Cornelis Wohon, seorang guru di Tomohon yang telah diangkat menjadi Pemulung (hulpzending) mengambil alih tugas pada beberapa sekolah
Dalam kurun waktu yang sama (zaman Pendeta Wilken), pemerintah merancang dan menyelesaikan proyek-proyek urgen dengan prioritas pertama :
Jaringan-jaringan jalan menerobos pedalaman Minahasa dan pesisir pantai dipacu sejak tahun 1825-1870-an dipelopori oleh Residen Scherius. Tomohon menjadi titik silang jalan-jalan di pegunungan
Sekitar tahun 1870-an Residen Jansen membangun gedung-gedung sekolah lengkap dengan peralatan.
Sejajar dengan usaha pemerintah itu, usaha para misionaris zending juga besar.
Pendeta Ulfers yang berlatar belakang ahli membuat pedati, pada waktu sama melatih pemuda-pemuda pribumi di wilayah kerjanya dalam hal tukang menukang dan membuat pedati yang kemudian disebut roda.
Pendeta Wilken juga ahli membuat pedati, memperbaiki gerobak-gerobak tradisional.
Dulu kedua rodanya dipasang mati pada kedua ujung sebelah menyebelah as yang pada umumnya dari kayu bulat.
Kedua roda itu berputar sama-sama.
Bentuk yang ada sekarang telah diperkenalkan dan diajarkan oleh pendeta Wilken, mula-mula di Tomohon, Kakaskasen, dan Sonder.
Demikian pula yang dilakukan pendeta Ulfers untuk umatnya.
Mereka telah mengalihkan ketrampilan umatnya, dan menjadi warisan generasi penerus hingga saat ini.
4. 1875
Jumlah umat telah mencapai belasan ribu orang.
Gereja mulai berkembang secara vertikal ialah melalui turunan keluarga Kristen sendiri.
Di Tomohon terdapat dua pendeta NP Wilken dan J Louwerier, sejumlah sekolah Zending dan sekolah pemerintah yang pengelolaanya diserahkan kepada Zending, sebuah Kweekschool atau Sekolah Penulong yang kemudian disebut STOVIL (School Tot Opleiding Voor Inlandche Leeraar).
Sekolah itu didirikan atas prakarsa pendeta Wilken tahun 1866 sebagai sarana pengkaderan calon-calon pemimpin
5. Wilken meninggal
Wilken meninggal di Tomohon 22 Februari1878.
Terdapat catatan emas dalam lembaran Sejarah Gereja Protestan di Minahasa tentang dia:
“Wilken is niet heengaan zonder een blijvend spoor te hebben achtergelaten…
Wilken tidak pergi tanpa meninggalkan sebuah jejak permann..
(Khususnya untuk Tomohon : penulis).
6. Indische Kerk
Sejak tahun 1875, tanggung jawab atas umat mulai dialihkan dari NZG kepada Gereja Protestan Hindia-Belanda atau Indische Kerk.
Pendeta-pendeta diangkat dan digaji oleh pemerintah.
Mereka menjadi pegawai pemerintah, dan kadang-kadang juga diangkat menjadi residen.
Peran NZG tinggal mengurusi aset-aset persekolahan.
Dalam masa transisi, Indische Kerk di Minahasa/Manado dipimpin oleh pendeta J. Louwerier di samping tugas-tugasnya sebagai pendeta Tomohon setelah kematian Pendeta Wilken.
Pada saat proses pengalihan itu selesai tahun 1885, Tomohon tetap menjadi pusat Indische Kerk.
Saat itu di Tomohon menumpuk instansi-instansi pendidikan Protestan yang penting: Kweekschool Penulong, Kweekschool Guru, Meisyesschool (Sekolah Nona) di Kaaten yang sekarang dipergunakan sebagai SD GMIM VIII dan sekolah-sekolah rakyat yang banyak.
Hasil karya kerasulan para pendeta Zending setelah 50 tahun di Minahasa ketika misi Katolik mulai aktif kembali, dapat dilihat pada jemaat-jemaat yang terbentuk dan karya-karya lain.
1. Telah terbentuk 10 jemaat dengan pemimpin tetap
a. Jemaat Tondano, terbentuk tahun 1831 dipimpin pertama kali Ds. JF Riedel
b. Jemaat Langowan, tahun 1832 dipimpin pertama kali Ds. JG Schwarz
c. Jemaat Amurang, tahun 1837 dipimpin pertama kali Ds. KT Hermann
(Ia merintis jemaat Kumelembuai, Tonsawang, Kapoya, Munte di tengah masyarakat yang masih Alifuru. Ia meninggal tahun 1854 di Rumoong Atas dan diganti oleh JH Tenderloo).
d. Jemaat Tomohon, terbentuk tahun 1843 dipimpin pertama kali Ds. NP Wilken.
e. Jemaat Kema terbentuk tahun 1848 dipimpin pertama kali Ds. F Hartig
f. Jemaat Tanawangko, tahun 1848 dipimpin pertama kali Ds R Bossert
g. Jemaat Kumelembuai (Motoling), tahun 1849 dipimpin pertama kali Ds S Ulfers
h. Jemaat Sonder terbentuk tahun 1851 dipimpin pertama kali Ds N Wilken
i. Jemaat Ratahan tahun 1862 dipimpin pertama kali Ds. JN Wiersma
j. Jemaat Talawaan, terbentuk tahun 1831 dipimpin Ds M van der Wal
2. Terdapat 70 buah Zending di samping sekolah-sekolah pemerintah, yang sebahagian diserahkan kepada Zending untuk dikelola.
Lama kelamaan lingkungan-lingkungan sekolah tersebut menjadi sentra-sentra kristianitas.
Orang-orang Alifuru pertama yang terjaring oleh pendeta-pendeta Zending dan kemudian menjadi tokoh-tokoh pembantu dan pendamping sebagai Pekabar Injil.
Di Tondano, Lambertus Mangindaan tahun 1854.
Di Langowan, A. Angku tahun 1854.
Di Kumelembuai Motoling, Yosef Rasu tahun 1859, dan di Tomohon, sebagai guru dan Penulong Protestan pertama tahun 1849 sedangkan Nona Guru Warokka menjadi guru di Sekolah Nona (Meisyes-School) Kaaten Tomohon tahun 1881.
Dalam Metamorfosis Indische Kerk, Tomohon menjadi pusat GMIM sejak tahun 1934
1934
Perubahan yang terjadi tahun 1930-an telah melahirkan dua gereja Protestan Minahasa :
Kerapatan Gereja Protestan Minahasa KGPM dicetuskan di Tomohon 21 April 1933 oleh Pendeta J Pandean dan Pendeta Z Talumepa serta Joseph Jacobus seorang bekas jaksa.
Evangelisasi perdananya dilaksanakan di Wakan oleh B G Lapian bulan Oktober tahun itu.
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) diresmikan di Tomohon tanggal 30 September 1934 oleh Gubernur Jenderal Batavus di Gereja Sion Tomohon.
Sebagai Ketua Sinode DR. E. A. de. Vreede, wakil ketua Pendeta AZR Wenas.
Tomohon menjadi pusat GMIM.
Sumber : HB Palar dan kawan-kawan, “Bangkitnya Kembali Umat Katolik Tomohon,”

edit winkiped
open koreksi di koment bawah oleh admin,moderator lain juga member

by opa harry kawilarang
Awal pengenalan Injil di tanah Minahasa

Injil datang di Indonesia mulai dikenal melalui kedatangan orang-orang Portugis tahun 1512 membawa misi gereja Katolik. Waktu itu datang 2 armada dagang Portugis, masing-masing pimpinan Anthony d’Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Terjalin hubungan dagang rempah-rempah yang tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.
Ketika terjadi Reformasi Gereja tahun 1517 di kota Witenberg Jerman melahirkan Gereja Protestan dipelopori oleh Martin Luther. Martin Luther adalah pendiri Gereja Lutheran, gereja Protestan, pecahan dari Katolik Roma, seorang biarawan Jerman dan ahli teologi Kristen. Tradisi baru dalam agama Kristen muncul dengan seruan Martin Luther kepada Gereja agar kembali kepada ajaran-ajaran Alkitab. Sumbangan pemikiran Luther terhadap peradaban Barat jauh melampaui kehidupan Gereja Kristen. Terjemahan Alkitabnya telah ikut menambahkan sejumlah prinsip dalam seni penerjemahan dan pengembangan versi standar bahasa Jerman. Demikian juga perkembangan nyanyian jemaat dalam Gereja Kristen saat ini diilhami oleh Nyanyian rohani yang diciptakannya.
Kedatangan Fransiskus Xaverius
Pada 1 Januari 1546, Fransiskus Xaverius, pionir misionaris Kristen berlabuh di pulau Amboina setelah melalukan perjalanan panjang dari Malaka, dan tingal di pulau itu hingga pertengahan bulan Juni. Misi Fransiskus Xaverius di Ambon menjadi salah satu perintis dalam sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Gereja Katolik menganggap Fransiskus Xaverius telah mengkristenkan lebih banyak orang dibanding siapapun semenjak Rasul Paulus. Hanya dalam beberapa waktu berada di Maluku ia membabtis puluhan ribu penduduk. Tahun 1547 Franciscus Xaverius dari Maluku merencanakan perjalanan ke Jepang dan Tiongkok, Dalam perjalanan tersebut, Fransciscus Xaverius singgah di Kema (Minahasa) dan Kaidipang ( Boroko ). Didua tempat ini ia melakukan pembabtisan terhadap banyak penduduk negeri. Di Kaidipang sebanyak 2000 orang dibabtisnya. (merupakan awal penanaman benih Injil di Bolaang Mongondow).

Kedatangan Pendeta Jacobus Montanus di Minahasa
Pendeta pertama yang datang ke tanah Minahasa, di Manado, Ds. Jacobus Montanus pada 1675, yang dalam laporannya menyatakan bahwa didaerah Minahasa sudah ada pemeluk Katolik. Pada masa VOC pelayanan pendeta-pendeta itu diberikan dalam waktu singkat dan kemudian ditinggalkan dalam waktu yang lama karena pendeta-pendeta yang mengunjungi Minahasa berdomisili di Ambon. Demikian juga ketika melakukan Baptisan tanpak diberi pengajaran yang selayaknya dan dilakukan dalam jumlah yang banyak (massal). Selain Montanus, yang juga menunjungi Minahasa seperti Gualterus Peregrinus (1676), Ds. Stampioen (1694), Ds. Nan Aken (1695)
Penginjilan pertama-tama dari NZG yang mengunjungi Minahasa ialah Joseph Kam yang datang dari Ambon, terkenal dengan julukan “Rasul Maluku”. Joseph Kam tiba di Ambon bulan maret 1815. Joseph Kam memulai pekerjaannya untuk menghidupkan kembali kekristenan, melakukan semua tugas seorang pendeta, seperti berlhotbah, mengunjungi jemaat-jemaat di pedalaman, memperdamaikan perselisihan dan pertengkaran, dan melayankan sakramen-sakramen. Selain itu, ia juga meninjau pekerjaan para guru jemaat dan membantu mereka dalam mengajar. Ia juga aktif dalam mengembangkan bacaan-bacaan Kristen, seperti Alkitab, Mazmur, Katekismus, dan khotbah-khotbah untuk jemaat-jemaat yang tidak memiliki pendeta atau guru jemaat.
Joseph Kam menikah dengan Sara Maria Timmerman, perempuan Indo Belanda yang setia mendampinginya sampai akhir hidupnya. Istri Kam membantunya dalam pelayanan, mengajarkan Bahasa Melayu kepada para misionaris yang baru datang dari Eropa dan mereka berdua menjadi pembimbing bagi para tenaga baru ini.
Setelah semua jemaat di Ambon dan sekitarnya terlayani maka pada 1817 Ia mengunjungi jemaat-jemaat di Ternate, Minahasa dan Sangir. Di daerah-daerah ini, kondisi jemaat lebih buruk dari Ambon. Sangir dan Minahasa tidak pernah lagi dikunjungi pendeta sejak 1789. Ia terus berkeliling Ambon, Minahasa, Sangir, Ternate, Tenggara, serta Timor sampai tahun 1823. Joseph juga banyak berjasa di bidang pendidikan. Ia membimbing dan memberi perhatian kepada guru-guru. Tahun 1819 di Ambon, ia membuka sekolah untuk mendidik orang Ambon menjadi guru yang dapat mengajar dengan lebih baik di gereja dan di sekolah. Lulusan dari sekolah itu, ada juga yang baik dan berkualitas sehingga kemudian diangkat menjadi pendeta pribumi pertama di Ambon, yaitu W. Hehanusa (1799-1887) .
Joseph Kam merasa pekerjaannya terlalu berat, sehingga ia meminta NZG untuk mengutus tenaga misionaris yang baru untuk membantunya. Ia juga mempersiapkan dan mengutus beberapa penginjil ke daerah Minahasa dan Maluku Tenggara. Untuk membangun kehidupan gereja di Minahasa, ia mempersiapkan dan mengutus Pendeta Jungmichel dan J. Roorda van Eijsinga (1821). Kehadiran mereka didahului oleh orang-orang yang ditugas-kan oleh pengurus Gereja Pro-testan di Batavia (Jakarta). Umpamanya Ds Lenting dikatakan datang ke Minahasa pada tahun 1819-1820 dan membaptis banyak orang. Kemudian L Lammers yang meninggal di Kema pada tahun 1824 dan D Muller meninggal pada 1827.
Pengkristenan selanjutnya di Minahasa berjalan lancar dimana atas usaha Joseph Kam telah mendatangkan dua pendeta lagi yaitu, Muller dan Lammers (1822).
Pada tahun 1827 pendeta Gerrit Jan Hellendoorn ditempatkan di Manado dan atas usahanya yang sangat giat sampai pada 1839 telah mendirikan sekolah-sekolah di Kakas, Langowan, Paniki Bawah, Tateli, Kapataran, dan Lota. Jan Gerrit Hallendoorn, disebut oleh Molsbergen sebagai seorang guru injil dan oleh Coolsma disebut sebagai predikat ber-giat di Minahasa. Ia digelari “pe-letak dasar pekabaran injil di Minahasa”. Dialah yang mendesak kepada NZG supaya menjadikan Minahasa sebagai lapangan Zending. Atas usaha pendeta Gerrit Jan Hellendoorn itu sehingga NZG mengirimkan dua penginjil, Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel yang masing-ditempatkan di Langowan dan Tondano.
Bulan November 1829, ketika Schwarz berusia hampir 30 tahun, ia berangkat berlayar menuju Tanah Minahasa, Sulawesi Utara. Oleh NZG ia diminta untuk mengupayakan pendidikan bagi tenaga-tenaga pribumi untuk memberitakan Injil. Bukan dengan cara menyebarluaskan perbedaan konvensi, melainkan ‘kekristenan dalam hati’. Salah satu hal pokok yang ditekankan NZG adalah mengenai pembaptisan. Ketulusan dan keyakinan seorang calon baptisan harus menjadi kriteria utama dalam pembaptisan yang akan dilaksanakan oleh Schwarz.
Bulan Juni 1831, Schwarz bersama rekannya JF. Reidel tiba di Manado. Di sini era pembangunan jemaat Kristen telah dimulai. Residen penguasa setempat mengantarkan Schwarz ke tempat yang dipilihnya yaitu Kakas dan kemudian menetap di Langoan. Dalam melaksanakan tugas memberitakan Injil, Schwarz memakai metode yang sangat sederhana. Ia menggunakan kata-kata yang hidup dalam masyarakat tanpa bentuk-bentuk tertentu, tanpa catatan dan tanpa buku-buku. Ia mengajarkan Injil melalui bahasa yang bisa dipahami masyarakat setempat, dan karena pembawaannya yang ramah ia mampu mengadakan pendekatan pada mereka.
Schwarz dan Reidel adalah dua orang pelopor yang meletakkan dasar yang cukup kuat bagi jemaat-jemaat di Minahasa. Dalam 10 tahun pertama pelayanan mereka, sekalipun Reidel lebih berhasil dalam jumlah membaptis orang, namun dalam mendirikan jemaat dan sekolah termasuk luasnya wilayah pelayanan Schwarz jauh melebihi pelayanan Reidel. Inilah hal yang paling menonjol dalam pelayanan Schwarz di samping keberhasilannya mengajarkan keterampilan teknik pertukangan, pertanian, kesehatan, dan membangun peradaban yang baik di Tanah Minahasa.
Sesudah J F Riedel dan J G Schwar, baru-lah datang para zendeling lain secara bergelombang, antara lain: C T Hermann, A Mattern N P Wilken Zendeling Wilken me-majukan persekolahan di Tomohon dibantu oleh guru pribumi bernama Alexander Wajong. Oleh kegiatan dan pemberian diri guru pribumi itu, maka murid-murid katekhisasi memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang isi pengajaran yang disampaikan kepada mereka. Di antara tahun 1848 dan 1851 datang pula para zendeling Hartig, Bossert, N Graaf-land, S Ulfers dan H W Nooij.
Hartig, meninggal pada tahun 1854, dilanjutkan oleh Linemann, yang dibantu oleh guru Hehanussa yang diangkat sebagai penolong zendeling di tahun 1856. Selanjutnya di antara tahun 1861-1864 datang juga ke Minahasa para zendeling: H Rooker, H J Tendeloo, A O Scha-afsma, C J van der Liefde, J A T Schwarz, J N Wiersma, M Van der Wal, J Louwerier dan M Brouwer. Tidak dapat disangkal bahwa mereka telah datang dari negerinya yang jauh.

Pendeta Josef Kam dari NZG Belanda di Minahasa

Rumah Pendeta Karl Tragot Herman di Ranoyapo, Kelurahan Ranoyapo, Kecamatan Amurang. Pada tanggal 1 Januari 1837 NZG / Nederlandsch Zendeling Genootschap mengutus Zendeling Karl Tragot Herman di Amurang dan menyampaikan khotbah perdananya. Herman kemudian menetap di Amurang dengan istrinya dan seorang anaknya. Wilayah pelayanan K.T. Herman melingkupi 100 desa disekitar Amurang dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa. Pada tanggal 17 Juli 1836 Herman mulai mendirikan sekolah. Kedatangan K.T. Herman membawa nuansa baru lewat pekabaran injilnya yang intensif di Amurang. Ia sangat rapih dan teguh dalam bekerja serta disiplin hingga dijuluki sebagai “orang yang selalu rindu pada pekerjaan”. Ia giat mengajar dan berkhotbah. Pada tanggal 27 September 1851. K.T. Herman meninggal dan dikuburkan di Amurang tepatnya di Kelurahan Ranoyapo.

joseph kahm bybopa danny weku
Joseph Kam was a man who had been a missionary for the London Missionary Society who had been sent to nusantara now Indonesia, later earned the nickname “The Apostle of the Moluccas” by Church History in Indonesia. In fact, in the early days of his ministry in the eastern archipelago, he had been riding the “banner” of the Anglican Church with him, although the spread was not so obvious. Especially if we are not observant and extra-delicate investigating, the traces will not be seen. The state of archives for only 5 years that is tucked in the middle of the records of the Dutch Church which has been present for 350 years, of course may be buried and especially if it is not caused or raised to the surface.
The present British government was only “the age of corn” (short time) in the archipelago and was replaced again by the Dutch authorities. This era and events are known and are called British Interregnum, the change of colonial power that occurred between the two European nations, with the same sharp nose with white skin, blue eyes with blond hair, but the appearance and ethical approach of the British at that time had could cause sympathy for the natives. It also raised hopes for people with brown skin and almost black to get a brighter future. The religious values and principles of Anglicanism, which were different from those of the previous Europeans, were once favored by the people of the archipelago producing spices in the seduction area of the coconut island, an area that was once the center of the world’s eyes.
Along with the motto: “, Cuius regio, eius religio” and also as is commonly known in the history of the archipelago (now it called Indonesia), England ever had full control and rule from 1811 to 1816 over the archipelago, at that time the British Empire also entered and introduced the Anglican Church (or the Church of England). It is common to the Betawi people or the people of Jakarta, at that time the street in front of the Church of England in the Menteng, they called is “Jalan Gereja Inggris”. During the period of his presence on the archipelago, around 5 years, this church was officially included. Except for the church in Minahasa, the transition still continued until the 1830s.
Indeed Joseph Kam was greatly influenced by the pattern of ministry according to the evangelical ideology of pietism which he adopted from his family environment in the Netherlands, and more formally in the environment of the evangelical community in Berkel, in the home of his brother, Ds. Samuel Kam. Ds Samuel Kam is an NHK priest whose house is used as a training ground for evangelists. From this house in Berkel, later will produce evangelists who will also follow Joseph Kam to come and serve as missionaries to the archipelago and to the Minahasa land, such as Lamers, Muller and Hellendorn. From Berkel Josef Kam went to the missionary education institute in Rotterdam and at the Theological Institute in Gosport in England led by Dr. David Bogue as the first LMS director, before he and his two friends Gottlob Buckner and Johann Christoffel Supper were sent to Java on the proposal of Mr. Robert Morrison a missionary a pioneer in China.
At the end of the 18th and the beginning of the 19th century before the Dutch left the colony called “Hindia Belanda Timur”, the churches in that archipelago were virtually abandoned. Many Christians have returned to their previous beliefs. It was during this gloomy period (see the History of The Indonesian Church) when the Britain and the Anglican Church came to revive the Christians who had “almost died”, especially on the eastern islands of the archipelago, such as in Maluku, Timor and Minahasa.

While in the West the new spiritual with its movements that are sweeping over Western Europe have caused renewal of the Churches both in mainland Europe and in the Islands of Europe (England). . The new spirituality or “new life” of Western European Christians who have changed the church in England. So, Governor General Thomas Raffles, was no exception of this influence to the spiritual life and this is the reason why he became a supporter of this reform movement. Raffles also have a contributions of the mission movement in the British colony.

Governor Raffles welcomed Kam so warmly. Raffles is not only a political governor but also in addition to making changes the political system in the former Dutch colony, he also actively paying attention to the interests of the Anglican Church in the archipelago even in his work area which includes the Far East Asia. On July 22, 1814 Raffles appointed Joseph Kam as a state clergyman in British colonies. Kam became an official worker, he was bound by the Anglican Church to serve the islands in the eastern archipelago based in Ambon.

During this era Joseph Kam was separated with the London Mission Society (LSM) in London and the Nederland Zendelingen Genootschap (NZG) in Netherlands. Kam and Raffles they were together to involve with the movement of church renewal and evangelization of the pagan as a challenge for the growth of biblical faith; and as well reactively deed to continue answer the criticism from the puritans within the Anglican Church in England. Raffles became the leader of the Bible Sociaty in Batavia (Lembaga Alkitab), for the translation of the Bible whereas Kam in Ambon.

Regarding the mission of the Anglican Church in Far East Asia, Wolterbeek wrote: “Thomas Stanford Raffles has very many contributions for this, who is also the founder of Singapore. Raffles has a positive Christian standpoint and not a few of his contributions to strengthen the establishment of the Anglican Church in Singapore and in Pinang “(Wolterbeek: 1959: 86)

Sekilas Sejarah Penginjilan di Jaman VOC/Belanda
di MINAHASA

Kesulitan ekonomi yang dialami oleh bangsa Belanda akibat dampak dari perang berkepanjangan dengan Spanyol, telah memaksa mereka untuk melakukan perjalanan menuju ke pusat rempah-rempah. Semula bangsa Belanda dapat bekerja sama dengan Portugal dengan mengangkut bahan-bahan rempah-rempah dari pelabuhan-pelabuhan yang telah dikuasai oleh Portugal. Tetapi sejak tahun 1580 daerah Portugal telah dikuasai oleh Spanyol. Karena Belanda sedang berperang melawan Spanyol, maka tertutuplah daerah kekuasaan Portugal bagi Belanda. Sebab itu bangsa Belanda terpaksa mencari dan membeli bahan-bahan langsung ke pusat perdagangan rempah-rempah yaitu kepulauan Nusantara.
Pada tahun 1596 dilepaslah armada Belanda yang pertama dengan 4 buah kapal laut dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Mereka masuk kekepulauan Nusantara dan mendarat di Banten. Karena sifat keserakahannya, mereka dimusuhi oleh orang Banten sehingga terpaksa menyingkir dan tiba di Bali. Berbeda dengan orang Portugal dan Spanyol, kedatangan bangsa Belanda hanya didorong oleh dua faktor yaitu ekonomi dan petualangan. Belanda kurang berminat kepada usaha penyebaran agama. Perjalanan pertama orang Belanda ini tidak berhasil dan akhirnya kembali ke negeri Belanda.
Pada tahun 1598 armada kedua Belanda diberangkatkan dibawah pimpinan Jacob Van Neck dan Wybrecht Van Warwyckdan tiba di Banten untuk kedua kalinya. Dalam perjalanan kedua ini orang Belanda berubah sikap. Antipati akibat kekerasan dalam pelayaran pertama menjadi pelajaran sehingga mereka diterima baik oleh orang-orang Banten dan daerah-daerah lainnya seperti Tuban dan Maluku (1599) serta Ternate.
Pada tahun 1602 Belanda mendirikan kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang berarti Kompeni Serikat Hindia Timur yang bertujuan antara lain untuk mencapai monopoli perdagangan rempah-rempah yang ada di kepulauan Nusantara.
Usaha untuk memperoleh kekuasaan mutlak dalam perdagangan, VOC menggunakan dukungan politik dan militer dan tidak segan-segan secara fisik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara serta kepada para penduduk pribumi yang tidak menerima mereka. Arah politik demikian mulai tampak semenjak Jan Pieterzoen Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1619. Hal ini tentu saja ditentang oleh Portugal dan Spanyol yang lebih dahulu menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Nusantara. Begitupun kerajaan-kerajaan yang berada di Nusantara melakukan perlawanan terhadap ambisi dan sikap Belanda itu.

Peperangan antara VOC/Belanda dengan Portugal dan Spanyol serta kerajaan-kerajaan di Nusantara / Indonesia berlangsung bertahun-tahun, dan puncaknya Belanda berhasil merebut kota Malakadari kekuasaan Portugal pada tahun 1641.
Sebelumnya Belanda telah berhasil terlebih dahulu menduduki benteng Portugal di Amboina pada tahun 1605, dan merebut Jayakartadari tangan Pangeran Wijayakranapada tanggal 30 Mei 1619 dan sejak saat itu Kota Jayakarta diganti namanya menjadi Batavia oleh seorang pegawai VOC bernama Van Raay. Banten dapat dikuasai oleh VOC dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1680 dengan bantuan Sultan Haji. Mataram ditaklukan VOC pada tahun 1678 dari tangan Sultan Amangkurat II. Di Sulawesi Selatan yaitu Makassardirebut oleh VOC dibawah pimpinan Cornelis Speelman dengan bantuan Aru Palakamenaklukkan Sultan Hasanudin dari Gowa pada tanggal 18 Nopember 1667 dibawah perjanjian Bongaya.
Setelah Belanda menguasai kerajaan-kerajaan besar Nusantara, dan merampas sebagian besar kepulauan Nusantara dari tangan Spanyol dan Portugal, maka mulailah para Pengijil dari Zendeling yang terdiri dari para penginjil Jerman, dan Belanda mulai mengabarkan Injil dikepulauan Indonesia. Masyarakat yang telah menganut agama Kristen Katholik yang disebarkan oleh
Portugal dan Spanyol sebelum kedatangan bangsa Belanda, oleh VOC mulai dimasukkan kedalam Gereja Kristen Protestan. Tetapi perkembangan pengabaran Injil selama VOC berkuasa hingga abad ke 19 tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Hal ini disebabkan karena VOC memfokuskan pada misi monopoli perdagangan semata. Namun demikian di masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Von Imhoff , dari tanganya berdiri Seminari Theologia Pertama di Indonesia. Dia adalah salah seorang penguasa VOC yang banyak memperhatikan pengkabaran Injil di Hindia Belanda.
Pada masa pemerintahan VOC (1602 – 1800) Penginjil atau pendeta-pendeta Zendeling berjumlah 254 anggota dan 800 anggota Zieketrooster. Sedangkan Pemeluk Agama Kristen Protestan hingga tahun 1860, tercatat baru mencapai 80.000 jiwa.

PENGINJILAN VOC DI TANAH MINAHASA
Pada tahun 1655, bangsa Belanda akhirnya memasuki tanah Minahasa di bawah pimpinan Simon Cos. Setelah bekerja sama dengan Minahasa dalam mengusir Bangsa Spanyol di Miinahasa. Dengan persetujuan dengan para Walak-walak di Minahasa, Belanda berhasil mendirikan benteng di Manado yang diberi nama ‘De Nederlandsche Vestigheid’. Pada tahun 1657 benteng tersebut di ubah namanya menjadi Benteng Ford Amsterdam. Sejak saat itu mulailah para Pengijil dari Zendelingyang terdiri dari para penginjil Jerman, dan Belanda mulai mengabarkan Injil di tanah Minahasa.
Belanda berhasil mendirikan benteng di Manado yang diberi nama ‘De Nederlandsche Vestigheid’. Pada tahun 1657 diubah namanya menjadi Benteng Ford Amsterdam
Pada tahun 1663, datanglah Ds. Burun ke Minahasa sebagai seorang perintiszendeling masa VOC.. Kemudian disusul dengan datangnya Ds. Fransiscus Dionisius dan Ds. Isaacus Huisman. Keduanya meninggal di Manado, Ds. Fransiscus Dionisius meninggal pada tahun 1674 dan Ds. Isaacus Huisman meninggal pada tahun berikutnya [1675].
Penginjil pertama yang bertugas di Manado pada tahun 1675 adalah Ds Montanusyang datang bukan hanya melayani petugas-petugas VOC, melainkan juga memberitakan Injil kepada penduduk pribumi. Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Dari tulisan Pendeta Montanus-lah diketahui bahwa pada sekitar abad 17 sudah ada Kerajaan Manado yang menguasai daerah pantai Bolaang, Gorontalo, Tanjung Pulisan dan Selat Bangka / Lembeh. Dari Manado Ds. Montanus berangkat ke Taruna dan meninggal di sana pada tanggal 22 Maret 1676.
Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.,1966)
Setelah kematian Ds. Montanus, beberapa pendeta pernah berkunjung ke Manado tetapi tidak lama menetap, tapi kehadiran mereka di Manado, cukup membantu perkembangan Injil di tanah Minahasa. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Kemudian pada tahun yang sama datang pula Ds. G. Peregrinus yang dipercayakan menjabat sebagai supervisor bagi gereja-gereja yang ada di Manado. Ia meninggal dunia pada tahun 1680 setelah hampir tiga tahun ia melakukan tugasnya. Kemudian datang pula Ds de Leeuw (1680-1689) yang bertugas di Minahasa dan Ambon.

Sekitar abad 18 datang pula Ds. Arnoldus Branstyang beberapa waktu bertugas di Manado, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Bolaang-Mongondow. Dan sampai pada tahun 1728 ketika Ds. Georg Hendric Wernly yang berasal dari Swiss melayani di Manado, sudah ada sekitar 616 orang Kristen Protestan. Dan pada tahun 1788 datanglah dua orang pendeta Belanda yaitu Ds. Rousselet dan Ds. John Ruben Adams yang telah menguasai bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kententuan dari VOC yang mengharuskan para pendeta yang datang ke tanah Minahasa harus menguasai bahasa Melayu. Pendeta Adam di tempatkan di Tondano dan melakukan penginjilan sampai di
pesisir timur pantai Tondano sekitar daerah Kapataran.
Walaupun para penginjil dari Eropa berusaha untuk memperluas agama Kristen di Minahasa, dapat dikatakan bahwa hingga akhir abad 19, Agama Kristen Protestan tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Faktor-faktor penyebab antara lain seperti halnya yang dialami oleh bangsa Spanyol yaitu mengakarnya kepercayaan lama penduduk terhadap kepercayaan nenek moyang, faktor bahasa serta kurangnya dukungan pemerintahan VOC terhadap penginjilan karena misinya hanya di bidang monopoli perdagangan semata.

(Dari berbagai sumber)
Disadur & Diringkas dari Buku : Mengenal Penginjil Muda Dari Negeri Belanda “Simon Dirk Vander Velde Van Cappellen”, Drs. Valry, S.H. Prang, GMIM NVC, 2018.

Published by vian togas

quit job for simpel life. made Apelez house& tourism&Okta farm&Voc product minahasa celebes,city tomohon,North Sulawesi,Indonesia+62(0)85240109300

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started